Langsung ke konten utama

ANTARA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN (BAGIAN II)

Hakikat Gender; Suatu Upaya Kajian Ontologis
Oleh: Ahmad Suhendra

Latar belakang munculnya konsep gender berawal dari banyaknya problem yang menghimpit wanita secara akumulatif. Di antaranya perlakuan diskriminatif dan tindak kekerasan terhadap wanita.[1] Perihal ini kemungkinan besar adanya taqlid dalam penafsiran yang berorientasi terhadap patriaki. Sehingga mengakibatkan anggapan bagi laki-laki sebagai yang “paling utama” dibanding perempuan (superioritas). Secara etimologi, gender berasal dari bahasa Inggris, gender, yang berarti jenis kelamin (John M. Echol, 1983).[2] Jender, dalam Women’s Studies Encyclopedia, adalah suatu konsep cultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam hal peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional anatara laki-laki dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat.[3] Namun perlu diketahui bahwa kata gender secara fungsional berbeda dengan kata jenis kelamin (sex)[4]. Kata jenis kelamin merupakan penafsiran atau pembagian kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin memiliki penis, memiliki jakala dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat rahim dan saluran untuk melahirkan, memperoduksi sel telur (ovum), memiliki vagina dan memiliki alat menyusui. Secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis atau dapat dikatan sebagai ketentuan Tuhan (kodrat). Adapun nantinya (pada era sekarang) ada laki-laki yang mempunyai status of sex perempuan dan perempuan mempunyai status of sex laki-laki, itu merupakan perihal diluar kodrat manusia, bahkan menyalahi kodrat yang sudah ditentukan oleh Tuhan. Sedangkan gender merupakan suatu sifat yang melekat pada kaum adam maupun hawa yang dikonstruksi secara social maupun cultural. Misalnya, bahwa kaum hawa itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sedangkan laki-laki dianggap kuat, rasional jantan, perkasa. Ciri-ciri dari sifat tersebut merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Perubahan ciri-ciri dari sifat-sifat tersebut dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dan dari tempat ke tempat yang lain pula.[5] Salah satu hal yang menarik mengenai peran gender adalah peran-peran itu berbeda pada setiap kultur yang ada dalam tatanan masyarakat. Bahkan terjadi perkembangan peran pada suatu kultur tertentu. Sehingga dapat dikatakan bahwa peran tesebut amat dipengaruhi oleh sosio-kultur, uisa, dan latar belakang suatu etnis.[6] Bermula dari perbedaan biologis menimbulkan pembedaan dalam sosio-politik saat bermasyarakat. Dalam masyarakat lintas budaya, pola penentuan beban gender (gender assignment) memang lebih banyak mengacu kepada faktor biologis.[7]Sehinggga terdapat pandangan sebelah mata (pembedaan) pembagian kerja secara jenis kelamin. Padahal sebenarnya al-Qur’an tidak mengaitkan jenis kelamin dengan gender atau dengan pembagian kerja tertentu atau dengan sifat-sifat maskulin (al-Rajul) dan feminis (al-Nisa`). [8] Keberadaan dan perbedaan gender seharusnya bukan menjadi suatu yang dijadikan asas structural, sehingga terdapat posisi yang lebih tinggi, namun sebaiknya menjadi asas fungsional yang saling melengkapi, melindungi, dan mendampingi.


[1] Drs. H. Shofwan Karim, M.A. “Perspektif Islam tentang Kesetaraan dan Keadilan Gender” (bagian I) dalam http://shofwantuunitedstates.spaces.live.com/mmm2006-09-13. diakses pada tanggal 02 Aprill 2008 pukul 07:30.
[2] Dikutip oleh Dr. Nasaruddin Umar, M.A., Agumen Kesataraan Jender; Perseptif Al-Qur`an (Jakarta: Paramadina, 1999), hlm., 33.
[3] Ibid, 34.
[4] Ibid, 35.
[5]Lihat dalam Dr. Mansoer Fakih, Analisis Gender dan Transformasi Sosial (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), hlm., 7.
[6] Julia Cleves Mosse, Gender Pembangunan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm., 3
[7] Dr. Nasaruddin Umar, M.A., Agumen Kesataraan Jender; Perseptif Al-Qur`an, hlm, 37.
[8] Asma Balas, Cara Quran Membebaskan Perempuan, terj. R. Cecep Lukman Yasin (Jakarta: Serambi, 2005), hlm., 233

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RENUNGAN MULTIKULTURALISME

RENUNGAN MULTIKULTURALISME Oleh: Ahmad Suhendra Kerberagaman merupakan hal yang niscaya bagi kehidupan manusia dimana pun berada. karena pada setiap “diri-kepala” individu seseorang dilatarbelakangi dengan bermacam-macam unsur yang membentu sistem kehidupan dirinya. Dan dari bermacam-macam unsur yang membentuknya itu pada individu masing-masing seseorng tentunya berbeda dengan individu yang lainnya.dari kondisi tersebut melahirkan suatu tatanan subsistem pandangan yang berbeda, yang akhirnya melahirkan sistem kebudayaan yang berbeda dan beragam. Tentunya tidak hanya dalam kontek kebudayaan, tetapi dalam beberapa wilayah, semisal agama, bahasa, etnis, suku, dan sebagainya. Dengan demikian keberagaman merupakan keniscayaan yang tidak dapat terelakkan dan tidak dapat dihindarkan.

Mempersiapkan Jiwa Sosial

Majalah Bakti, No. 268-THXX-Oktober 2013 Sumber: Tirtojiwo.org Mempersiapkan Jiwa Sosial Oleh Ahmad Suhendra* Idul Adha menjadi momentum pelaksanaan ibadah haji (rukun Islam yang terakhir) dan berkurban. Sehingga idul Adha juga disebut sebagai bulan haji dan Idul Qurban. Kedua ibadah itu kumpul dalam bulan yang bersamaan. Hal ini menggambarkan perlu adanya keseimbangan antara ibadah ritual dan ibadah sosial. Secara filosofis, berkurban memberikan anjuran kepada kita untuk merelakan hal-hal keduniawiaan. Bentuknya berupa pengorbanan untuk kemaslahatan umum dan berkorban di jalan Allah swt. Dengan kata lain, makna yang terkandung dalam berkurban adalah untuk senantiasa berjiwa sosial. Peduli dan empati terhadap kehidupan sekitar, serta membantu keluarga terdekat dan tetangga dalam keseusahan adalah yang ditekankan oleh Islam dalam hal ini.

Dinamisasi Politik Berjubah Agama

Dinamisasi Politik Berjubah Agama Oleh Ahmad Suhendra Keterungkapan kasus suap impor sapi oleh KPK menjadi suatu bentuk penyadaran bagi masyarakat Indonesia. Agar masyarakat Indonesia menjadi lebih cerdas dan dewasa dalam berpolitik maupun dalam memandang politik. Begitu juga masyarakat dalam beragama. Kasus yang menimpa salah satu partai dengan ‘idiologi agama’ itu membuktikan bahwa sekalipun partai itu ‘religius’, belum tentu dapat menjalan roda perpolitikan sesuai ajaran agama seperti yang digembor-gemborkannya.