ANTARA LAKI-LAKI DAN PEREMPUAN
Oleh: Ahmad Suhendra
Tuhan menciptakan manusia dalam dua bentuk, yakni laki-laki dan perempuan. Adanya Adam sebagai perwakilan kaum laki-laki dan Hawa sebagai perwakilan kaum perempuan, mengundang atau bahkan menimbulkan suau pandangan bahwa Hawa (perempuan) yang menyebabkan Adam (laki-laki) “diturunkan” ke muka bumi.
Dalam beberapa peradaban, dengan tidak menyebut semua peradaban, kaum perempuan dijadikan second class, bahkan dijadikan suatu hal (something) yang berbeda dengan laki-laki, untuk tidak menyatakan “barang”.
Seperti dalam peradaban Hindu seorang istri harus rela mengakhiri hidupnya dengan dibakar hidup-hidup saat suainya meninggal. Terlebih saat masa jahiliyah derajat perempuan seperti tidak berharga.
Dari beberapa contoh tersebut mengindkasikan adanya praktek diskriminasi atau menomor-duakan atas perempuan. Islam datang dengan menganggungkan derajat perempuan, namun saat perjalanan terus berlalu “cerminan” segala aspek kehidupan manusia pun ditafsirkan yang berimplikasi kebenaran penafsiran tersebut relative dan nisbi.
Karena tidaklah mungkin seorang mufassir terbebas dari sosio-politik yang mempengaruhinya dalam menafsirkan Alquran. Sehiggga sebagian aktifis akademik modern-kontemporer menyatakan adanya bias patriaki dalam penafsiran (produk tafsir) yang “mengunggulkan” kaum laki-laki dan mengesampingkan perempuan.
Persoalan yang penulis hadapi adalah apakah hakikat gender itu mengharuskan adanya perbedaan respon-sosial?apakah perempuan harus dipandang dalam kacamata sensitive-praxis?bagaimana relasi gender dalam pandangan islam?
Bersambung.....
Oleh: Ahmad Suhendra
Tuhan menciptakan manusia dalam dua bentuk, yakni laki-laki dan perempuan. Adanya Adam sebagai perwakilan kaum laki-laki dan Hawa sebagai perwakilan kaum perempuan, mengundang atau bahkan menimbulkan suau pandangan bahwa Hawa (perempuan) yang menyebabkan Adam (laki-laki) “diturunkan” ke muka bumi.
Dalam beberapa peradaban, dengan tidak menyebut semua peradaban, kaum perempuan dijadikan second class, bahkan dijadikan suatu hal (something) yang berbeda dengan laki-laki, untuk tidak menyatakan “barang”.
Seperti dalam peradaban Hindu seorang istri harus rela mengakhiri hidupnya dengan dibakar hidup-hidup saat suainya meninggal. Terlebih saat masa jahiliyah derajat perempuan seperti tidak berharga.
Dari beberapa contoh tersebut mengindkasikan adanya praktek diskriminasi atau menomor-duakan atas perempuan. Islam datang dengan menganggungkan derajat perempuan, namun saat perjalanan terus berlalu “cerminan” segala aspek kehidupan manusia pun ditafsirkan yang berimplikasi kebenaran penafsiran tersebut relative dan nisbi.
Karena tidaklah mungkin seorang mufassir terbebas dari sosio-politik yang mempengaruhinya dalam menafsirkan Alquran. Sehiggga sebagian aktifis akademik modern-kontemporer menyatakan adanya bias patriaki dalam penafsiran (produk tafsir) yang “mengunggulkan” kaum laki-laki dan mengesampingkan perempuan.
Persoalan yang penulis hadapi adalah apakah hakikat gender itu mengharuskan adanya perbedaan respon-sosial?apakah perempuan harus dipandang dalam kacamata sensitive-praxis?bagaimana relasi gender dalam pandangan islam?
Bersambung.....
Komentar