MENELUSURU KITAB SUCI KRISTIANI
(Hasil Pembacaat atas Scripture)
Oleh Ahmad Suhendra*
Di
dalam era sebelumnya telah dinyatakan bahwa dalam kajian kitab suci erat kaitannya dengan masalah interpretasi.
Dalam sejarah awal, interpretasi hanya sebatas pada wilayah ‘mengalihkan’
bahasa yang satu ke bahasa yang lain. Dengan begitu, interpretasi dalam masa
awal lebih bersifat praktis-filologis, sehingga interpretasi pada masa ini
hanya sebatas kajian filologi. dengan demikian, hermeneutika pada era awal
hanya sebatas berwajah filologis.
Kemudian
dalam era selanjutnya, terutama ketika Schleiermacher mulai memberikan
pondasi-pondasi hermeneutika dalam ranah filosofis. Walaupun sebenarnya
Schleiermacher tidak menulis sistematis-metodis secara rinci dalam satu buku
terkait metodologi hermeneutika, tetapi setidaknya Schleiermacher sudah
memberikan titik terang mengenai alur metodis yang lebih jelas mengenai
hermenetuika.
Berangkat
dari kegelisahan Schleiermacher atas ketidakmampuan hermeneutika sebagai
filologi mengungkap atau menemukan makna yang terdapat dalam suatu teks kitab
suci (Alkitab). Menurut Schleiermacher, ada dua tugas hermeneutik yang pada
hakikatnya identik satu sama lain, yaitu interpretasi gramatikal dan
interpretasi psikologis. Bahasa gramatikal merupakan syarat berpikir setiap
orang. Sedangkan aspek psikologis interpretasi memungkinkan seseorang menangkap
‘setitik cahaya’ pribadi penulis. Oleh karenanya, untuk memahami
pernyataan-pernyataan pembicara orang harus mampu memahami bahasanya sebaik
memahami kejiwaannya. Semakin lengkap pemahaman seseorang atas sesuatu bahasa
dan psikologi pengaran, akan semakin lengkap pula interpretasinya. Kompetensi
linguistik dan kemampuan mengetahui seseorang akan menentukan keberhasilannya
dalam bidang seni interpretasi (Somaryono, 1999).
Membaca
Alkitab tidak langsung diterima secara saklektis (tekstual), tetapi
harus ada analisis-kontekstual dalam membacanya. Bentuk analisis atas teks
tidak dapt dipisahkan dari analisis bahasa, sehingga diperlukan pisau analisis
untuk membaca suatu bahasa yang terverbalkan dalam kitab suci. Pisau analisi
yang digunakan dalam proses interpretasi dapat digunakan berbagaimacam
keilmuan. Namun, untuk menemukan ideal meaning dalam sebuah teks perlu
digunakan hermeneutika dalam kajian interpretasi.
Walaupun,
memang tidak dapat dipungkiri produk dari penafsiran dapat beragama, karena
dipengaruhi latarbelakang yang berbeda yang melingkupi sang penafsir (reader).
Kendati demikian, relativitas penafsiran justru akan memberikan nilai religiusitas
atas teks tersebut. Hal ini disebabkan, teks Kristiani (Alkitab) dipandang
sebagai kesaksian Iman, dan jangan dibaca secara teknis, itu hanya metafora,
alegoris, atau yang lainnya.
Di
dalam Alkitab dijelaskan Kredo
penciptaan yang bermula dari Allah menciptakan, kemudian Allah menciptakan
langit dan bumi (alam semesta), kemudian Allah menciptakan pepohonan dan
binatang, kemudian baru menciptakan manusia. Karya cipta Tuhan tidak hanya masa
lalu, tetapi juga sampai sekarang, sehingga dalam penelitian atau ditemukan
terdapat spesies baru dan sebagainya.
Konsep
dosa dalam tradisi Kristiani adalah upaya pemberontakkan ingin menjadi
‘pencipta’ (Tuhan). dengan demikian, tidak hanya melanggar aturan agama, dan
melanggar hak orang lain. Konstruksi teologis bukan masalah ontologis Tuhan,
sehingga masalah penciptaan itu lebih pada free will kemanusiaan.
Teologi
yang paling liberal, namun, seperti teologi yang paling ortodoks, hanya gema
perawatan paradigmatik beberapa, dan bahkan pemikir terkemuka di arus utama
teologis akademik sering macet dalam bisnis melelahkan merekonstruksi doktrin
bersejarah untuk membuatnya setuju dengan ilmu pengetahuan modern dan / atau
filsafat. filsafat analitik telah, sejak tahun 1950-an, menyebabkan teologi itu
sendiri untuk menjadi lebih analitik, lebih tertarik pada isu-isu menjelaskan,
kurang puas dengan hanya mendukung posisi.
*) Pengemis Ilmu di Yogyakarta
Komentar