Langsung ke konten utama

Menggapai Mimpi (Sang Pemimpi Episode Ke-2)


Menggapai Mimpi (Sang Pemimpi Episode Ke-2)
Karya Bersama Oleh Naelul Fauziah & Ahmad Suhendra



Sekali lagi kubantingkan proposal beasiswaku diatas tempat tidur yang sudah lapuk dan berbau tidak sedap karena sudah terlalu lama didiamkan tidak dipakai, kali ini aku benar-benar pasrah, seluruh persediaanku untuk seminggu ini raib demi mengurus beasiswa yang tak jelas akhirnya seperti ini, kenapa aku masih berharap untuk melanjutkan magisterku ke negri yang terkenal dengan bunga sakuranya seharusnya aku bersyukur karena aku telah lulus dengan nilai tertinggi di Universitas Malaya dan itupun lagi lagi karena nasib sedang berpihak saja padaku, tapi apa buktinya, sampai saat ini proposal pengajuanku jadi dosen di Universitas Padjajaran pun tak ada kabar, sementara kontrakan butut ini pun sudah sebulan belum dibayar, minta pada umi dan abi dikampung tidak mungkin, mereka pun sangat kekurangan untuk membiayai si kecil husna yang sudah masuk sekolah dasar.



Aku benar-benar merasa terpuruk menjadi laki-laki yang tak berguna, untuk apa ijazah S1 aku miliki jika aku masih kesusahan seperti ini.
Tiba-tiba saja terdengar suara ketukan pintu dari luar, dengan perasaan yang masih menyisakan kekesalan aku beranjak dari kasur yang sudah tak layak pakai, saat kubuka oh ternyata bu marni tetangga sebelahku yang biasa mengantarkan surat untukku dari kantor pos karena kebetulan saudaranya bekerja di kantor pos daerah cibiru, ternyata ada surat untukku dari sebuah lembaga di Jakarta, dalam hati aku berdo’a semoga surat ini membawa kabar baik untukku dan ternyata saat kubaca bait demi bait dalam surat itu menyatakan siap untuk memberiku beasiswa dengan syarat aku harus mengumpulkan skripsi ketika di malasyia dan aku harus membuat yang baru yang masih terkait dengan tema skripsiku tentang komunikasi dan dunia publik yang ditinjau dari aspek maslahah dalam islam, sungguh seperti ketiban durian meski tadi kurasakan sempat lemah dan emosi, tapi Allah memang adil dan pemurah tidak tega melihat lelaki sepertiku dalam penderitaan, aku bersyukur.

Malamnya aku berusaha keras untuk membuat skripsi baru sampai aku harus lembur dengan menyewa laptop teman yang kebetulan ngekost di depan kontrakanku tapi tak apa semuanya akan menghasilkan sesuatu yang lebih baik dari sekedar pengorbananku yang belum seberapa ini, aku pernah baca dalam bukunya afifah afra yang menyatakan kenapa perjuangan itu pahit jawabannya karena surga itu manis, jadi tidak mengapa saat ini aku harus berkorban dan berjuang dulu toh suatu saat nanti aku akan merasakan buah dari usahaku ini, amien pintaku dalam hati.

Kulanjutkan tulisanku sampai tak terasa mataku terpejam di depan laptop yang masih menyala dan saat aku terbangun hangatnya cahaya mentari masuk lewat celah-celah ventilasi jendela kamar yang hanya berukuran 8x4 ini. Hari ini aku harus persiapkan segalanya masa depan menantiku, Jepang tunggu aku…
Kulangkahkan kaki dengan gagah, sepatu yang hanya kupakai sekali saat wisuda sarjana kali ini aku pakai untuk menambah keyakinan pengujiku bahwa aku EGI OKTAVIAN bocah Sunda yang kurus kerempeng dan tinggal di kontrakan termurah yang pernah ditemukan di daerah cicahem bandung, layak untuk diperhitungkan sebagai calon mahasiswa yang terdaftar beasiswa di universitas Tokyo, Jepang. Hmm.. semangat yang kuat tertanam dalam hatiku, aku yakin aku pasti lolos, Bismillah…

Sampai ditempat ujian, seluruh tubuhku seperti remuk tak berdaya, mata para penguji seperti mata srigala yang siap menerkam, tawanya terkekeh kekeh tak berbeda dengan tawanya tokoh mak lampir di film misteri gunung merapi yang sejak kecil jadi film favoritku tapi tiba-tiba bayangan karmila, gadis lulusan universitas libya, madinah yang menjadi dosen di universitas padjajaran yang aku ajukan, membuat keremukkan tubuh dan jiwaku hilang yang terbayang hanya senyumnya ketika dia menawarkan aku untuk menjadi dosen di UNPAD, aku mengenal Mila secara kebetulan ternyata dia teman satu angkatan dengan adik kelasku di UM yang saat itu menjadi teman satu asrama denganku namanya Kamal. Dan ketika Mila pulang dari madinah seluruh teman angkatannya diundang dirumahnya untuk tasyakuran kelulusannnya di Libya dan termasuk Kamal juga hadir dan aku ikut menghadiri karena saat itu aku ikut kamal pulang kampung di daerah Cikarang, Bekasi.
“Bagaimana saudara Egi, bisa kita mulai tes kita kali ini?”
Suara lembut penguji perempuan yang berjilbab membuyarkan lamunanku tentang Mila,
Dengan tegas aku menjawab
 “Siap, bu”.

Detik demi detik terlewati bahkan waktu sudah menunjukkan pukul 15.00 sementara tes dimulai pukul 13.00 itu artinya 2 jam lebih kuhabiskan diruangan eksekusi ini. Dan tepat pukul 15.30 penguji terakhir mempersilahkan aku untuk keluar karena semua tes telah aku lewatkan dengan baik semoga hasilnya lebih baik, amin.

Sepanjang perjalanan menuju gubug kecil yang tak layak disebut kontrakan itu, aku berdo’a dan memohon ada keajaiban untukku meskipun dari hasil tes tadi aku merasa mampu menjawabnya dengan cukup benar dan jelas tapi tetap aku tak boleh sombong karena semuanya Allah yang mengatur, ketika perjalananku hampir sampai ada dua orang lelaki yang mencegatku di tengah jalan, dari caranya berjalan sudah seperti soekarno saja ketika memimpin upacara bendera untuk pertama kalinya di istana Negara, gagah dan meyakinkan tapi ketika langkah mereka semakin dekat tak ada satu sentipun yang mirip dengan kegagahan soekarno malah lebih mirip tukang sayur yang biasa lewat depan kompleks.. haks..haks tragis sekali. Ternyata dua lelaki tadi adalah kamal dan temannya, Hasan. Mereka sama-sama teman satu asramaku ketika di malasyia hanya saja kami berbeda jurusan. Aku mengambil ilmu komunikasi khususnya dunia pers sedangkan mereka jurusan tafsir,
 “Assalamu’alaikum kang egi, kumaha damang?”ucapnya serentak,
Kusambut salam mereka dengan senyuman dan mengajak mereka ikut mampir dirumahku.
“Ada apa ini ko tumben sekali kalian datang kemari, sepertinya ada sesuatu yang ingin disampaikan, betulkah begitu kamal”tanyaku.
Mereka hanya tersenyum penuh misteri seolah menyimpan sesuatu, naluri keingintahuanku kambuh dan terus bertanya keperluan mereka sebenarnya, karena aku hampir kesal akhirnya kamal angkat bicara
“Begini kang Egi, kami diamanahi oleh Karmila untuk menyampaikan berita gembira bahwa kang egi teh diterima menjadi dosen UNPAD tapi tidak hanya itu mila juga menawarkan ada beasiswa magister di universitas Indonesia untuk kang egi dan kebetulan mila juga berniat melanjutkan magisternya disana jadi bisa bareng dengan kang egi, kumaha atuh kang mau tidak?”
Jelas kamal penuh yakin.

Kabar baru yang disampaikan kamal tadi benar-benar menohok dan mengagetkanku, aku tak tahu apa aku bahagia atau justru kecewa, bukan aku tak bersyukur dengan karunia Allah yang amat besar ini padaku tapi karena pengaruh perasaan,  satu sisi aku sangat ingin sekali ke jepang dan kuliah disana, itu merupakan cita-citaku sejak SMP ketika pertama kali aku membaca komik jepang milik teman perempuanku, aku sangat tertarik dengan kecerdasan dan kedisiplinan rakyat sana, banyak yang ingin aku temukan disana tapi sisi lain tawaran karmila sangat menggiurkan menjadi dosen UNPAD sambil kuliah di UI sekaligus bisa bertemu terus dengan karmila bukankah itu karunia yang berlipat-lipat, semuanya perlu dipikirkan dan dipertimbangkan pikirku dalam hati,
“Baiklah untuk sementara saya tidak mengiyakan dulu tawaran mila di UI saya akan menunggu hasil beasiswa saya ke jepang lolos atau tidak baru kemudian saya bisa jawab dan untuk masalah di UNPAD tolong sampaikan terimakasih saya padanya dan kapan saya bisa mulai mengajar disana”tanyaku.

“Katanya mila kang egi bisa mulai mengajar besok, ya sudah kami pamit dulu masih ada keperluan lain kang, mari kang assalamu’alaikum…
Semuanya membuatku bingung, tapi aku harus tunggu kabar ke jepang dulu setelah itu baru dipikirkan, yang penting sekarang aku sudah dapat kerjaan jadi dosen di UNPAD, alhamdulillah bisa bayar kontrakan, bisa ngirim ke umi dan abi dan yang penting bisa cicil untuk beli
laptop, malu kalau harus nyewa terus masih untung kalau bayar ini sih gratis, dasar orang Indonesia mental gratisan ucapku pelan..haha..
 Sesaat di pelataran kos aku membuka pintu kamar sambil memutar otak sesekali aku tersenyum, untuk memilih pilihan yang menguras perhatianku. Ku baringkan raga ini dalam kebimbangan di atas kasur yang ku kasih spray salah satu club bola ternama di Spanyol.

Kebisingan kendaraan mulai lenyap dari pendengaranku, begitupun riuh aktivitas manusia yang seamkin lenyap dalam pandanganku. Tapi kebingungan pilihan itu masih menggantung dalam pikiran. Sayup-sayup suara yang terbawa angin menghampiri ku terasa samar-samar. Akupun tertidur pulas dalam asa yang belum pasti.

Ketika buka bola mataku, jam sudah berpijak dalam angka 16.00. senjapun mulai menawarkan keeksotisannya dalam celah-celah ventilasi kamarku. Kumandang azan mulai memenuhi ruanganku dengan silih berganti. Dengan mata berkunang-kunang ku gerakan kakiku menuju kamar mandi yang terletak berpisah dengan kamarku. Maklum, kost murah memang harus meredam segala ego individualistik. Hal paling menyebalkan adalah mengantri mandi di pagi hari. Kadang, aku terlambat masuk perkuliahan hanya karena mengantri.

Sifatku yang selalu mengalah ini pula, mungkin, yang menyebabkan Aku selalu memakan celotehan salah satu dosenku. Dosen yang satu ini memang sensitif ketika melihatku, dia hanya melihat sudut keterlambatanku yang mungkin hampir mata kuliahnya. Tanpa melihat perjuanganku yang begitu banyak melewati kerikil kehidupan.

Ku lepaskan kepengatan duniawi dalam kuasamu ya Rabb, ku panjatkan ampun atas segala dosa yang tak dapat ku hindarkan dalam jiwa manusia dengan segala keegoaannya. Kalimat takbirpun kupanjatkan dengan mengangkatkan kedua tanganku, sebagai simbol aku makhluk yang tak berdaya. Sujud simpuh persembahan hamba hanya kepada Engkau Tuhanku dan Tuhan seluruh jagar raya ini. Setelah melaksanakan kewajiban lima waktu sebagai seorang muslim, aku pun menelusuri ayat demi ayat Kalam Allah yang begitu indah. Dengan harapan pragmatis, aku mendapatkan jawaban spiritual dalam memilih jalan terbaik untuk jalan hidupku ke depan yang dipilih Allah untukku.

Senja meliputi bumi, terang pun berganti redup kegelapan, aktivitas keramaian berubah menjadi gagap gempita yang sunyi. Akupun pulas dalam buaian angin malam yang begitu menusuk sendi-sendi tulangku. Begitu pulasnya tertidur tak terasa azan subuh sudah berkumandang. Kesunyiaanpun pecah oleh riuhnya azan yang saling bersautan. Aku membayangkan, bagaimana kalau dunia tanpa suara azan? Aku pun menyambut panggilan itu dengan bergagas menuju mushalla dekat kosanku.

Sepertinya aku belum batal wudhu, pikirku sambil membuka pintu. Setelah melaksanakan shalat berjamaah, aku pun membuka bait-bait suci Kalam Tuhan yang menggemparkan masyarakat Arab pada masa diturunkan sampai saat ini, al-Qur’an.
“Assalamu’alaikum,” suara itu terdengar dari sendi-sendi pintu.
“Wa’alaikumsalam,” jawabku sambil bergegas membukakan pintu.
Sebelum ku persilahkan masuk, langsung ku lontarkan pertanyaan, “eh, kang Maman, sugan teh saha? Kumaha, kang?
“Kita ngopi yu?”, jawabnya singkat.
hayu wae abdi mah, masuk heula atuh kang?”, tawaranku sambil meletakkan al-Qur’an di atas almari.

Kang Maman merupakan teman diskusi sekaligus nongkrong di warung kopi. Kami sering berdiskusi dari masalah keluarga sampai agama di warung kopi langganan kami. Dia orang Sunda yang gak bisa bahasa Sunda, tapi jika ada yang ngajakin ngobrol dengan bahasa Sunda dia ngerti.

Itu menjadi kegelisahan batin saya. Orang asli Sunda, ko gak bisa bahasa ibunya sendiri. Tidak hanya kang Maman yang seperti itu, tapi teman-teman yang lain juga tidak sedikit yang seperti itu. Ketakutan saya, mungkin nanti bahasa sunda bisa punah jika terus seperti itu. Bahasa Sunda menjadi situs purbakala yang tak berwujud. Tapi semoga anggapan itu keliru.

Setelah memesan makanan dan tentunya kopi, kami berdiskusi seperti biasa. Diskusi berjalan alot, karena satu teman diskusi kami sedang ada acara di Yogyakarta. Setelah mengupas tuntas masalah kebangsaan dan kemanusiaan, aku memberanikan diri untuk meminta pendapat terkait kebingunganku.
Beberapa alasan pun ku keluarkan semuanya. Antara ke Jepang atau menjadi dosen UNPAD ya?, tanyaku dalam hati. Setelah ku mengolah semua argumen-argumennya, aku menyimpulkan dia menyarankanku untuk pergi ke Jepang. Dengan beberapa alasan sosial akdemik yang di utarakan, memang cukup rasional. Bukannya aku merendahkan kualitas pendidikan di Indonesia, tapi Jepang memang berada di depan Indonesia dalam beberapa bidang keilmuan.

Namun, jawaban itu tidak sesuai dengan pilihanku, tahu kan jawabanku apa? Tentunya menjadi Dosen di UNPAD, dan kuliah di UI. Bukan alasan yang logis apalagi akademis, tapi ini masalah kepatuhan kepada kedua orang tua. Kedua orang tuaku tidak setuju, jika aku harus berangkat dan tinggal sementara di Negeri Sakura tersebut.

Maklum tradisi keluarga saya, tidak ada yang tinggal jauh dari orang tua. Belajar dari sebelumnya, orang tua, terutama ibu, pasti tidak akan menyetujui saya untuk pergi ke Jepang dengan alasan apapun. Jadi, mungkin dengan berat hati aku memilih di Indonesia, menerima tawaran menjadi dosen UNPAD dan melanjutkan di pascasarjana UI.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RENUNGAN MULTIKULTURALISME

RENUNGAN MULTIKULTURALISME Oleh: Ahmad Suhendra Kerberagaman merupakan hal yang niscaya bagi kehidupan manusia dimana pun berada. karena pada setiap “diri-kepala” individu seseorang dilatarbelakangi dengan bermacam-macam unsur yang membentu sistem kehidupan dirinya. Dan dari bermacam-macam unsur yang membentuknya itu pada individu masing-masing seseorng tentunya berbeda dengan individu yang lainnya.dari kondisi tersebut melahirkan suatu tatanan subsistem pandangan yang berbeda, yang akhirnya melahirkan sistem kebudayaan yang berbeda dan beragam. Tentunya tidak hanya dalam kontek kebudayaan, tetapi dalam beberapa wilayah, semisal agama, bahasa, etnis, suku, dan sebagainya. Dengan demikian keberagaman merupakan keniscayaan yang tidak dapat terelakkan dan tidak dapat dihindarkan.

BIOGRAFI ULAMA: ULAMA YANG CENDEKIAWAN DARI GARUT

BIOGRAFI ULAMA KH. ANWAR MUSADDAD, GARUT Seorang ulama-intelektual yang berdedikasi untuk pengembangan lembaga ilmiah, namun tetap berdiri di atas tradisi pesantren. Keahliannya dalam Ilmu Perbandingan Agama tergolong langka di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) pada masanya.   Lahir di Garut pada 3 April 1909, menempuh pendidikan di HIS (Hollandsche Indische School, setingkat SD pada zaman Belanda), MULO (setingkat SMP) Kristelijk di Garut, dan AMS (setingkat SMA) Kristelijk di Sukabumi. Setelah menamatkan pendidikan menengah di sekolah Katolik tersebut, ia belajar di Pesantren Darussalam Wanaraja, Garut selama dua tahun, kemudian pada 1930 melanjutkan studi ke Mekah dan belajar di Madrasah al-Falah selama sebelas tahun.