Dinamisasi Politik Berjubah Agama
Oleh Ahmad Suhendra
Keterungkapan
kasus suap impor sapi oleh KPK menjadi suatu bentuk penyadaran bagi masyarakat
Indonesia. Agar masyarakat Indonesia menjadi lebih cerdas dan dewasa dalam
berpolitik maupun dalam memandang politik. Begitu juga masyarakat dalam
beragama.
Kasus
yang menimpa salah satu partai dengan ‘idiologi agama’ itu membuktikan bahwa
sekalipun partai itu ‘religius’, belum tentu dapat menjalan roda perpolitikan
sesuai ajaran agama seperti yang digembor-gemborkannya.
Apabila
suatu ‘partai religius’ mencita-citakan untuk menciptakan sistem pemerintahan
berbasis agama. Terlebih jika sistem itu sebagai upaya ‘pembangkitan’ kejayaan
masa lalu yang dalam konteks kekinian sudah berbeda.
Upaya
mewujudukan bentuk pemerintahan dengan idiologi agama tertentu, misalnya khilafah, menjadi model ideal yang
dicita-citakan oleh beberapa partai berbasis agama di Indonesia.
Model
ideal yang dicita-citakan itu seolah menjadi bayangan ketika dibenturkan dengan
perpolitikan yang ada. Karena yang terjadi adalah bentuk benturan idiologi.
Antara sistem perpolitikan yang berjalan dengan angan-angan ideal tersebut.
Partai
‘religius’ yang begitu militan ingin merubah bentuk pemerintahan Indonesia
dengan bentuk khilafah. Dengan berbagai bentuknya angan-angan
menurut mereka ideal itu hanya mengedepankan aspek ‘lingkaran luar’ dari agama
secara simbolis.
Untuk
menegakkan dinamika politik yang ‘dewasa’ memang tidak mudah untuk melawan itu.
Karena mereka ikut berkoalisi dan menikmati segala ‘fasilitas’ demokrasi. Tapi
di sisi lain, mereka selalu mengangap bahwa demokrasi adalah produk ‘barat’.
Demokrasi ini penyebab kejatuhan moral umat Islam di Indonesia.
Mereka
selaluu menyalahkan ‘demokrasi’ ketika terjadi suatu bencana, ketika terjadi
krisis moral, krisis sosial dan sebgainya. Tapi tidak obyektif ketika mereka
masuk dalam pusaran politik. Ketika partainya akan ‘jatuh’, mereka limpahkan
kesalahan itu padai pihak lain dengan ancaman konspirasi zionis atau yang
lainnya.
Tidakkah
itu menjadi gambaran mereka bermuka dua dalam hal berpolitik. Dinamika partai
berjubah agama pun menjadi petunjuk bahwa partai berjubah agama belum
‘religius’ seperti yang digaungkannya.
Karena
tidak sedikit para penguasa Islam dahulu mengalami kahancuran karena sistem
yang mereka jalankan hanya aspek luarnya saja. Bentuk pemerintahannya Islam,
tapi jika dalam prakteknya tidak islami juga menjadi pemerintahan yang dapat
dikategorikan zalim.
Para
walisongo dalam menyebarkan Islam di Indonesia tidak melalui kekerasan, tapi
dengan bentuk akulturasi budaya. Begitu juga dengan para pendiri bangsa ini.
Mereka tidak mendirikan negara ini sebagai negara Islam dengan banyak
pertimbangan dan untuk menghindarkan kemadharatan yang lebih besar dibanding
kemaslahatan yang didapatkan. Sekalipun ada beberapa kelompok yang menghendaki
negara ini berdiri berdasarkan agama tertentuu pada masa awal kemerdekaan.
Begitu
juga dengan saat ini, seharusnya sudah cukup agama menjadi berdiri sendiri dan
negara berdiri dengan bentuknya sendiri. Tidak usah mengedepankan agama
simbolik, tapi yang perlu dikedepankan adalah agama humanis, agama kontekstual,
agama progresif, dan agama keadilan serta kesetaraan.
Nilai-nilai
universal dalam suatu agama dapat diimplikasikan dalam peraturan daerah maupun
undang-undang dalam segala aspek hukum, politik, pendidikan, dan sosial. Dengan
tanpa mengubah ‘kulit luarnya’ menjadi agama tertentu, misalnya Islam. Menurut
Said Agil Siraj, Ketua PBNU, Negara Islam dengan Negara Islami adalah suatu hal
yang berbeda. Indonesia merupakan bentuk negara yang disebutkan terakhir.
Komentar