Langsung ke konten utama

Perempuan dan Politik Kepemimpinan 2014

Harian Pelita, 12 Maret 2014

12 Maret 2014
Rabu, 12 Maret 2014  |
Rabu, 12 Maret 2014  |
Perempuan dan Politik Kepemimpinan 2014
Ahmad suhendra

Sosok perempuan masih dianggap sebagai sosok yang kurang diperhitugkan. Dalam sejarahnya, beberapa budaya di dunia mendiskreditkan perempuan dalam berbagai bidang.

Kultur patriakhi itu berimplikasi signifikan terhadap peta perpolitikan perempuan. Perempuan tidak memiliki bargaining position yang setara dengan laki-laki. Karena kultur itu berupaya untuk mengesampingkan perempuan, sehingga kaum hawa dianggap sebagai the second sex.

Secara de jure Indonesia sudah berkomitmen dengan keterwakilan perempuan di ranah politik. Namun, secara de facto hal itu masih belum terrealisasi. Jumlah perempuan yang berada di pemerintahan belum banyak.


Selain itu, masih banyak permasalahan yang membelenggu perempuan yang belum terselesaikan. Permasalahan mengenai subordinasi, marginalisasi, diskriminasi dan stereotipe atas perempuan. Perempuan dipandang inferior daripada laki-laki.
Sumber: Indoprogres.com

Akibatnya, perempuan belum bisa terbebas dari ancaman human trafficking. Masalah  kesehatan reproduksi perempuan yang masih terabaikan. Hal itu bermuara pada rendahnya tingkat pendidikan yang dienyam perempuan.

Bahasa Perempuan
Indonesia perlu mengkomodir suara-suara perempuan yang termarginalkan. Bahasa merupakan medium untuk memunculkan makna (meaning). Bahasa perempuan sebagai alat untuk mengatakan pengalaman, pandangan dan kenyataan hidupnya. Makna (meaning) yang terkandung dalam bahasa perempuan sebagai politik identitas perempuan.

Bahasa yang diwacanakan perempuan tersebut berbeda dengan gaya tutur laki-laki. Anang Santoso (2009) menjelaskan bahwa perempuan cenderung menggunakan gaya tutur kooperatif. Sebaliknya, laki-laki lebih cenderung menggunakan gaya kompetitif. Karena itu, Perempuan dan laki-laki masih dipisahkan dalam dikotomi privat versus publik.

Bahasa yang digunakan perempaun dan laki-laki dalam beberapa hal, termasuk dalam bahasa agama, memiliki perbedaan, jika tidak dikatakan sengaja dibedakan. Konstruksi itu berdampak dalam ranah sosial, budaya dan keagamaan.

Perempuan itu lemah, kurang rasional dalam berfikir, lebih mengedepankan perasaan dan sebagainya sehingga hanya pantas bekerja dalam ranah domestik. Adapaun laki-laki itu kebalikannya. Konstruksi-konstruksi demikian mengakibatkan adanya pembedaan peran, fungsi dan tanggung jawab diantara keduanya.

Bahkan, menurut Coates (1995) penggunaan bahasa yang dibedakan secara gender berperan signifikan dalam marginalisasi perempuan dalam pelbagai profesi. Tak heran, jika perempuan muncul sebagai publik figur menimbulkan reaksi yang beragam dari masyarakat.

Perempuan dikonstruksi secara sosial dengan sedemikian rupa. Agar perempuan tidak menyaingi kekuasaan laki-laki. Bahkan, legitimasi agama pun dijadikan sebagai landasan untuk mengkerdilkan peran perempuan di ranah publik. Hal itu berdampak pada aspek psikologis perempuan yang merasa sudah cukup untuk mengurusi masalah domestik.

Tiga belas tahun silam, kita memiliki presiden perempuan pertama. Hal itu lantas menimbulkan pro-kontra diberbagai kalangan. Bahkan, membawa embel-embel agama untuk memberikan fatwa haramnya pemimpin perempuan.

Sampai saat ini pemimpin perempuan yang menonjol di ranah publik terbilang sedikit. Salah satu sosok perempuan Indonesia yang akhir-akhir ini santer dibicarakan adalah Tri Rishmaharini, Walikota Surabaya.

Dalam memimpin Surabaya, Rishma dianggap mengusung model kepemimpinan yang amanah. Dia juga dianggap sebagai sosok pemimpin yang mengabdikan untuk rakyat. Karena mimpi dan obsesinya  untuk mengubah Surabaya menjadi lebih baik.

Selain itu, dia juga memiliki sense of belonging sosial dan kemanusiaan. kepeduliaanya terhadap orang-orang termarginalkan menjadikannya sebagai salah satu figur pemimpin yang jarang dimiliki Indonesia sekarang ini.

Risma merekonstruksi bahasa (wacana) perempuan yang selama ini berkembang. Dia hendak mematahkan stigma sosial yang telah dikonstruk budaya patriarkhi. Misalanya, Dia membuktikan bahwa perempuan bisa menjadi sosok yang tegas terhadap siapa saja yang menyimpang.

Modal Perempuan
Saat ini politik nasional memasuki masa kelumpuhan kepemimpinan. Pemilu 2014 menjadi ajang penentu masa depan Indonesia lima tahun ke depan. Sebab dari Pemilu yang jujur dan adil serta bebas dari intervensi pihak manapun yang sesungguhnya estafet kepemimpinan yang ideal dapat dilakukan.

Munculnya Risma bisa menjadi sebuah angin segar untuk bangsa Indonesia. Sosok Risma menjawab kegelisahan dan keterbelengguan kaum hawa di ranah publik selama ini. Kepemimpinan perempuan memang salah satu jalan untuk menjadikan perempuan sebagai "active citizenship".

Perempuan juga sebagai warga negara yang memiliki hak berbicara, berpendapat dan ikut aktif berperan dalam mengelola negeri ini. Diperlukan upaya peningkatan kepemimpinan perempuan secara strategis. Hal ini ditujukan agar perempuan memiliki bargaining position dalam peta perpolitikan Indonesia.

Menurut Ani Soetjipto (2013) politisi perempuan tidak cukup hanya mengedepankan ideologi dan konsep politik perempuan, tetapi juga etika publik. Yakni perempuan yang memegang jabatan publik dituntut memiliki intuisi politik, kemampuan membaca power politics, mampu mengelola perbedaan dan punya keberanian “bertarung” dalam medan politik riil.

Beliau juga menekankan bahwa perempuan dituntut untuk memiliki intuisi politik, kemampuan membaca kekuatan politi dan keberanian bertarung dalam medan tersebut. Sebab itu, dibutuhkan sosok pemimpin perempuan yang menjalankan etika publik, ethic of care dan mengerti politik.

Terlepas dari pro-kontra yang ada. Kepemimpinan perempuan bisa menjadi problem solving krisis kepemimpinan laki-laki saat ini. Artinya, perempuan tidak lagi dianggap sebagai makhluk yang lemah. Kita harus memandang perempuan sebagai entitas yang utuh.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

RENUNGAN MULTIKULTURALISME

RENUNGAN MULTIKULTURALISME Oleh: Ahmad Suhendra Kerberagaman merupakan hal yang niscaya bagi kehidupan manusia dimana pun berada. karena pada setiap “diri-kepala” individu seseorang dilatarbelakangi dengan bermacam-macam unsur yang membentu sistem kehidupan dirinya. Dan dari bermacam-macam unsur yang membentuknya itu pada individu masing-masing seseorng tentunya berbeda dengan individu yang lainnya.dari kondisi tersebut melahirkan suatu tatanan subsistem pandangan yang berbeda, yang akhirnya melahirkan sistem kebudayaan yang berbeda dan beragam. Tentunya tidak hanya dalam kontek kebudayaan, tetapi dalam beberapa wilayah, semisal agama, bahasa, etnis, suku, dan sebagainya. Dengan demikian keberagaman merupakan keniscayaan yang tidak dapat terelakkan dan tidak dapat dihindarkan.

BIOGRAFI ULAMA: ULAMA YANG CENDEKIAWAN DARI GARUT

BIOGRAFI ULAMA KH. ANWAR MUSADDAD, GARUT Seorang ulama-intelektual yang berdedikasi untuk pengembangan lembaga ilmiah, namun tetap berdiri di atas tradisi pesantren. Keahliannya dalam Ilmu Perbandingan Agama tergolong langka di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU) pada masanya.   Lahir di Garut pada 3 April 1909, menempuh pendidikan di HIS (Hollandsche Indische School, setingkat SD pada zaman Belanda), MULO (setingkat SMP) Kristelijk di Garut, dan AMS (setingkat SMA) Kristelijk di Sukabumi. Setelah menamatkan pendidikan menengah di sekolah Katolik tersebut, ia belajar di Pesantren Darussalam Wanaraja, Garut selama dua tahun, kemudian pada 1930 melanjutkan studi ke Mekah dan belajar di Madrasah al-Falah selama sebelas tahun. 

Menggapai Mimpi (Sang Pemimpi Episode Ke-2)

Menggapai Mimpi (Sang Pemimpi Episode Ke-2) Karya Bersama Oleh Naelul Fauziah & Ahmad Suhendra Sekali lagi kubantingkan proposal beasiswaku diatas tempat tidur yang sudah lapuk dan berbau tidak sedap karena sudah terlalu lama didiamkan tidak dipakai, kali ini aku benar-benar pasrah, seluruh persediaanku untuk seminggu ini raib demi mengurus beasiswa yang tak jelas akhirnya seperti ini, kenapa aku masih berharap untuk melanjutkan magisterku ke negri yang terkenal dengan bunga sakuranya seharusnya aku bersyukur karena aku telah lulus dengan nilai tertinggi di Universitas Malaya dan itupun lagi lagi karena nasib sedang berpihak saja padaku, tapi apa buktinya, sampai saat ini proposal pengajuanku jadi dosen di Universitas Padjajaran pun tak ada kabar, sementara kontrakan butut ini pun sudah sebulan belum dibayar, minta pada umi dan abi dikampung tidak mungkin, mereka pun sangat kekurangan untuk membiayai si kecil husna yang sudah masuk sekolah dasar.