Langsung ke konten utama

Sastra itu ya diri kita

Sastra itu ya diri kita
Di antara kita itu tidak ada yang sama. Tuhan menciptakan manusia dengan begitu indah. Keindahan itu tidak bisa diungkapkan dengan bahsa. Hanya bisa dirasakan dengan rasa.
Karena begitu indahnya, tidak mungkin kita bisa menjelaskan seseorang.
Maka ketika kamu melihat sosok orang, diungkapkan dengan bait-bait puisi itu hal yang luar biasa.
Seorang sastrawan besar dari Pakistan, M. Iqbal, seorang muslim dan sastrawan besar dunia. Karya-karyanya luar biasa. Di disebut bintang dari timur. Lahir di Sialokot, 1877. Pemikiran besarnya tentang merekonstruksi pemikiran Islam.
Dalam salah satu puisinya, Iqbal menulis:
Bangunlah kerajaan cinta ditempatmu berdiam
Ciptakan nama baru
Fajar dan malam gemilau
Tenunlah kata-katamu
Puisi itu dimaksudkan untuk membebaskan bangsanya dari penjajahan. Puisi itu membangun semangat perjuangan orang-orang Timur.
Indonesia memiliki pujangga terkenal bernama Ronggo Warsito. Beliau seorang santri sekaligus keturunan Bangsawan dari Surakarta yang pernah nyantri kepada Kiai Hasan Bisari di Ponorogo, yang hidup semasa dengan Pangeran Diponogoro.
Awal nama ‘pesantren’ itu dimulai dari pesantren yang didirikan Kiai Hasan Bisari. Karena beliau seorang kiai dari kerajaan Surakarta. Para muridnya adalah anak-anak dari para bangsawan di Surakarta. Sehingga harus memberi nama lembaga pendidikan itu ‘pesantren’ agar resmi.
Cucu dari Hasan Bisari ini kemudian mendirikan pesantren Gontor.
Puisi itu ada beberapa kelompok
Puisimling: Puisi yang menabrak pakem atau tata aturan yang ada, dan menawarkan suasana baru.
Presiden penyair Indonesia, Sutardji
“Walau penyair besar tak kan sampai sebatas Allah. Dulu ku meminta tuhan, sekarang tak.” –Sutardji.
“Walau huruf habislah sudah. Alif bataku tak akan sebatas Allah”
Para penyair atau sastrawan muda itu mengalami goncangan jiwa yang luar biasa
Zawawi Imron dikenal dengan Cerulit Emas.

Wonocatur, Minggu (25/4) malam



Komentar

Postingan populer dari blog ini

RENUNGAN MULTIKULTURALISME

RENUNGAN MULTIKULTURALISME Oleh: Ahmad Suhendra Kerberagaman merupakan hal yang niscaya bagi kehidupan manusia dimana pun berada. karena pada setiap “diri-kepala” individu seseorang dilatarbelakangi dengan bermacam-macam unsur yang membentu sistem kehidupan dirinya. Dan dari bermacam-macam unsur yang membentuknya itu pada individu masing-masing seseorng tentunya berbeda dengan individu yang lainnya.dari kondisi tersebut melahirkan suatu tatanan subsistem pandangan yang berbeda, yang akhirnya melahirkan sistem kebudayaan yang berbeda dan beragam. Tentunya tidak hanya dalam kontek kebudayaan, tetapi dalam beberapa wilayah, semisal agama, bahasa, etnis, suku, dan sebagainya. Dengan demikian keberagaman merupakan keniscayaan yang tidak dapat terelakkan dan tidak dapat dihindarkan.

Mempersiapkan Jiwa Sosial

Majalah Bakti, No. 268-THXX-Oktober 2013 Sumber: Tirtojiwo.org Mempersiapkan Jiwa Sosial Oleh Ahmad Suhendra* Idul Adha menjadi momentum pelaksanaan ibadah haji (rukun Islam yang terakhir) dan berkurban. Sehingga idul Adha juga disebut sebagai bulan haji dan Idul Qurban. Kedua ibadah itu kumpul dalam bulan yang bersamaan. Hal ini menggambarkan perlu adanya keseimbangan antara ibadah ritual dan ibadah sosial. Secara filosofis, berkurban memberikan anjuran kepada kita untuk merelakan hal-hal keduniawiaan. Bentuknya berupa pengorbanan untuk kemaslahatan umum dan berkorban di jalan Allah swt. Dengan kata lain, makna yang terkandung dalam berkurban adalah untuk senantiasa berjiwa sosial. Peduli dan empati terhadap kehidupan sekitar, serta membantu keluarga terdekat dan tetangga dalam keseusahan adalah yang ditekankan oleh Islam dalam hal ini.

Dinamisasi Politik Berjubah Agama

Dinamisasi Politik Berjubah Agama Oleh Ahmad Suhendra Keterungkapan kasus suap impor sapi oleh KPK menjadi suatu bentuk penyadaran bagi masyarakat Indonesia. Agar masyarakat Indonesia menjadi lebih cerdas dan dewasa dalam berpolitik maupun dalam memandang politik. Begitu juga masyarakat dalam beragama. Kasus yang menimpa salah satu partai dengan ‘idiologi agama’ itu membuktikan bahwa sekalipun partai itu ‘religius’, belum tentu dapat menjalan roda perpolitikan sesuai ajaran agama seperti yang digembor-gemborkannya.