PESANTREN;
PENDIDIKAN ISLAM ALA INDONESIA[1]
Oleh
Ahmad Suhendra, S.Th.I[2]
Orang
yang berakal dan berbudaya takkan berdiam di satu tempat
Karena
itu, tinggalkanlah kampung halaman dan mengembaralah!
Pergilah,
niscaya kau akan menemukan ganti dari orang yang kau tinggalkan
Dan
berusahalah karena kenikmatan hidup ada dalam usaha
Aku
melihat genangan air dapat merusak air tersebut
Sekiranya
air itu mengalir, niscaya ia menjadi baik, jika ia diam maka ia menjadi rusak
Jika
matahari selamanya tetap pada orbitnya
Niscaya
orang Arab dan non-Arab akan bisan melihatnya.[3]
Mencari
ilmu dalam Islam adalah kegiatan yang diwajibkan bagi semua umat Islam,
laki-laki maupun secara garis besar, buku ini menguraikan perihal adab seorang
yang mencari ilmu dan yang berkaitan dengan hal itu. Kita pasti mengenal kitab Ta’lim
Muta’alim, kitab yang menguraikan tentang ‘akhlaq’ pencari ilmu,
murid kepada guru, dan sebagainya.
Buku
yang dibedah berjudul Mengapa Saya Harus Mondok di Pesantren? yang
diterbitkan oleh penerbit Sidogiri. Secara umum, buku ini mengulas tentang
seluk-beluk kepesantrenan. Mulai dari keutamaan ilmu-ilmu agama, etika belajar,
sampai pada etika murid kepada guru dan sebaliknya.
Dengan
hal itu, Tim Sidogiri memberikan pernyataan, jika hendak mencari ilmu-ilmu
(agama/ukhrawi), maka anda harus mencarinya di pesantren. Bagi saya,
buku ini cocok bagi santri pemula dan orang ‘awwam, karena uraian dan
penjelasan dalam buku ini mudah dimengerti. Uraian-uraian yang diberikan tidak
jauh berbeda dengan apa yang ada di kitab ta’lim muta’allim. Namun
sayangnya, buku ini terlalu ‘lama’ dalam menguraikan beberapa bab yang saya
kira tidak terlalu penting. Kekurangan lainnya adalah buku ini terlalu kontra
dengan ‘barat’ dan men-dikotomi keilmuan.
Kita
tengok kitab yang lain, yakni karya hadratus syaikh M. Hasyim Asy’ari Adab
al-‘Alim wa al-Muta’alim yang dialihbahasakan Menjadi Orang Pinter dan
Bener. Uraian dalam kitab ini lebih kontekstual dibanding dengan buku
terbitan Sidogiri. Karya hadratus syaikh dapat dibilang lebih ‘tipis’,
tetapi dari segi keilmuan lebih berkualitas.
Menurut
hadratus syaikh M. Hasyim Asy’ari,[4] ketika seorang mencari
ilmu harus melakukan beberapa hal berikut. Pertama, membersihkan aspek
rohani, dengan cara menghindari sifat-sifat tercela. Kedua, membulatkan niat
untuk mencari ilmu dan mencapai keridhaan Allah swt. Ketiga,
mempergunakan dan membagi waktu setepat mungkin. Mengatur waktu menjadi hal
yang penting bagi kesuksesan seorang santri.
Keempat, menerima dengan penuh
keikhlasan hati (qana’ah) segala sesuatu yang ia terima, baik dalam
bekal maupun pakaian. Imam al-Syafi’i berkata, “orang yang mencari ilmu itu tidak akan bisa merasakan keberuntungan,
apabila ketika mencari ilmu ia masih mempunyai hati yang tinggi (sombong dan thulul
‘amal. penulis), tidak pernah mengalami kesulitan, justru orang-orang yang
mencari ilmu dengan perasaan hina, rendah hati, serta mengalami pelbagai
kesulitan dan membantu ulama (guru atau kiai), maka dialah orang yang akan
merasakan keberuntungan sejati.”
Kelima, makan dan minum secara sukup
dan seimbang yang halal serta thayyibah. Keenam, menanamkan dalam
dirinya sifat sederhana, wira’i, dan sungguh-sungguh. Ketujuh,
tidur yang tidak berlebihan. Apabila santri merasa lelah, maka bukanlah suatu
kesalahan jika ia memberikan kesempatan untuk beristirahat terhadap fisik dan
psikologinya dengan mencari hiburan, bersantai, mengobrol dengan teman,
menulis, dan sebagainya. Kedelapan, seyogianya menjauhi pergaulan yang
tidak bermanfaat, terutama bergaul dengan lawan jenis. Hal ini disebabkan, di
antara watak manusia yang tidak baik adalah suka mencuri kesempatan.
Sekilas Info
Kepesantrenan
Pesantren
berasal dari bahasa sansakerta, kata san berarti orang baik
(laki-laki) disambung tra berarti suka menolong, santra berarti
orang baik baik yang suka menolong. Pesantren berarti tempat untuk membina
manusia menjadi orang baik. Kata ini disaat tertentu, bersandingan dengan kata
pondok. Kedua kata ini memilki arti berbeda, sehingga berimplikasi pada
konotasi penggunaannya. Sepanjang sejarah perkembangan Islam, kita akan
mendapatkan banyak lembaga pendidikan yang lahir untuk menyebarkan keilmuan.
Salah satu lembaga pendidikan atau model pengajaran yang disebut Pesantren.
Pesantren di Indonesia merupakan lembaga pendidikan (nonformal) sangat tua
usianya.
Sistem
pendidikan di pesantren memiliki keunikan tersendiri. Di dalamnya santri (murid
yang belajar di pesantren) tidak hanya dididik dari segi keilmuan, tetapi juga
disertakan tata nilai moral, kehidupan, agama, dll. Dengan demikian, diakui
atau tidak, pesantren sudah menerapkan pendidikan karakter yang sedang
digalangkan pemerintah, khususnya kementrian pendidikan dan budaya.
Hal
itu beralasan, santri secara ekonomi dituntut untuk mengelola keuangan secara
mandiri. Pola-pola interaksi yang unik itu menjadi ke-khas-an dan, mungkin,
kelebihan bagi lembaga pendidikan yang dinamakan pesantren.
Namun,
kita tidak dapat memungkiri, bahwa pesantren juga memiliki banyak kekurangan.
Mulai dari masalah metode pengajaran sampai pada menegerial kepemimpinan,
administrasi, dan sebagainya. Kecuali pesantren-pesantren ‘modern’ yang telah
merubah kekurangan tersebut. Pada sisi yang berbeda, pesantren ‘modern’ sedikit
mengikis tata nilai universal ke-khas-an pesantren.
[1] Tulisan ini disampaikan dalam
“diskusi Ramadhan” santri Pondok Pesantren Al-Kamiliyyah, Cibarusah, 2 Agustus
2012.
[2] Adalah alumni PP. Al-Kamiliyyah
(2006),
[3] Kalimat ini merupakan penggalan
sya’ir Imam al-Syafi’i, lihat Tariq Suwaidan, Biografi Imam Syafi’i: Kisah
Perjalanan dan Pelajaran Hidup Sang Mujtahid, terj. Imam Firdaus (Jakarta:
Zaman, 2011), hlm, 45.
[4] KH. M. Hasyim Asy’ari, Menjadi
Orang Bener dan Pinter, terj. M. Lukman Hakim (Yogyakarta: Qirtas, 2003),
hlm. 27-32.
Komentar