Tanggal 26 Desember 2013
Pagi itu, aku mengayunkan sepeda
hitamku menuju Burjo.ayunan demi ayunan hingga akhirnya sampai di depan
warung yang beratapkan sengitu. Aku membeli sepuluh buah gorengan. Saat
pulang menuju Sekretariat Perhimpunan Mahasiswa Bogor D.I. Yogyakarta (Pamor Raya), aku melewati jalan alternatif. ku
lihat sosok kakek-kake sedangmengencat dinding rumahnya. warna kuning
pun menghiasi rumahnya itu. tampilanyang menawan.
"Wah, dicet lagi ni, mbh?" sapaku.
"Iyo, mben apik," jawab si mbah sambilmengulas-ulas koasnya. Dengan sedikit lirikan kepadaku.
Aku pun bertanya lagi,"gimana natalnya kemaren, mbh?"
"Ya, rame," jawabnya singkat.
Di tengah obrolan itu, datanglah sosok perempuan bersama dua anaknya."Selamat Natal, mbah," ucapnya tiba-tiba.
"Ya, selamat natal," jawab si mbah sambil berjabatan tangan.
Perempuan
itu pun berbincang dengan si mbah tanpa menghiraukan keberadaanku. Tak apalah. Aku melihatnya itu sebuah obrolan yang harmoni. Tapi sayang,
obrolannya pake bahasa Jawa. Jadi aku tak memahami apa yang diobrolkan mereka. Tapi kemudian perempuan itu berpamitan.
"Mari mas," sapanya saat melewatiku yang duduk di atas sepeda.
Aku pun masih termenung dalam kebisuan. Seliwir angin pun iktu menghempaskan kebisuan. Daun pisang yang hijau nan robek itu berkibar-kibar.
"Muslim iku mestine ngono," sahut si mbah menghilangkan gagapku.
“Ternyata si ibu tadi seorang muslim,” tanyaku dalam hati.
“Oh, tadi itu Islam to mbah?” tanyaku.
“Iya!” jawab singkatnya.
“Kita kan sesama warga mesti rukun,” lanjut si mbah sambil menatapku dengan yakin.
“Iya,
mbah. Harusnya nggak ada masalah orang Islam begitu juga (mengucapkan
natal),” jawab haruku. Hatiku gemetar mendengarnya. “Andai semua orang
seperti ibu tadi dan si mbah ini,” anganku.
“Kita kan, sesama umat. Ndak ada masalah saling menghargai, to?” tegas beliau.
“Njeh, mbah,” jawabku singkat.
Singkat
cerita. Perutku semakin kroncongan. Karena dari tadi sudah menahan lapar
tak karuan. Gorengan yang hangat ini mungin sudah layu. Akhirnya aku pun pamit ke pemilik kontrakan sekretariat itu.
“Mbah, kulo pamit nje. Mau ke asrama dulu,” pinta ku.
“Oh, iya. Monggo-monggo,” tutur beliau sambil melanjutkan pengecatannya.
“Selamat natal nje, mbah,” ucapku walaupun telat.
“Ya, selamat natal juga,” jawabnya sambil menatapku.
Aku pun menggoeskan sepeda menuju sekretariat Pamor Raya.
Komentar